Makalah Hukum Pidana


BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik yang bercirikan hukum sebagai acuan negara dalam mengatur masyarakatnya yang begitu plural dan beraneka ragam, hal ini memungkinkan negara dapat mengontrol secara penuh gerak gerik dari masyarakatnya. Setiap gerak tindak masyarakatnya harus diawasi agar gerak tindak tersebut tidak mengganggu masyarakat lainnya yang memiliki hak yang sama dalam memperoleh kehidupan, tindakan ini dapat digolongkan dalam beberapa tindakan, yakni tindakan yang positif yang dapat mendatangkan manfaat bagi masyarakat lain dan tindakan negatif yang menimbulkan kereseahan untuk masayarakat disekitarnya. Dalam pembahasan ini kami penulis memfokuskan pada tindakan negatif, dalam hal ini adalah tindakan pidana yang menimbulkan peristiwa hukum dan wajib untuk diusut oleh pihak yang berwajib.
            Dengan begitu beragammnya tindakan yang dilakukan oleh masyarakat dimasa kontemporer, maka pemerintah harus selangkah lebih maju dari tindakan yang dilakukan oleh masayarakat dan dapat menjalankan pengawasan terhadap rakyatnya agar timbul rasa aman dan nyaman dilingkungan masyarakat.
            Manusia adalah makhluk sosial, yang oleh aristoteles disebut zoon politicon,  manusia memiliki cita cita, keinginan, kebutuhan dan usaha yang berbeda dan berkaitan erat dengan kehidupan orang lain, adakalanya prilaku seperti ini menimbulkan persaingan diantara manusia itu sendiri. Dikhawatirkan perilaku manusia akan menjadi seperti homo homini lupus yang sewaktu waktu akan timbul kepermukaan dan akan sangat membahayakan.
I.2 Rumusan Masalah
            Apa saja sikap tindak atau dalam hal ini tindakan pidana yang diatur dalam hukum positif indonesia?
I.3 Tujuan
            Untuk mengetahui tindakan-tindakan pidana apa saja yang diatur oleh hukum positif Indonesia yang oleh karena tidak sesuai dengan falsafah hidup bangsa indonesia, yakni mengedepankan kesamaan hak tanpa intervensi dari pihak lain.
I.4 Manfaat
            Manfaat yang dapat diambil yakni kita dapat mengetahui tindak pidana baik tindak pidana umum maupun tindak pidana khusus serta regulasi yang mengaturnya dalam ruang lingkup hukum positif Indonesia



 
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) mengenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupanmasyarakat.

            Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”  

            Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan  kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.

            Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Prof. DR. Bambang Poernomo, SH, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut:
 “Bahwa perbuatan pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”


            Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan  akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Prof.DR. Bambang Poernomo, SH, juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana. 

            Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengan-tengan masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana.

            Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege  (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
·       Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
·       Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
·       Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

            Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tbkindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya.






BAB III
PEMBAHASAN

III.1 Hukum pidana dalam masyarakat pulralistik
Akhir masa pemerintahan Orde Baru memunculkan harapan bahwa Indonesia akan berkembang menjadi negara hukum demokratis yang menghormati dan menjunjung tinggi rule of law. Dalam rangka mewujudkan hal tersebut telah diambil berbagai langkah formal, antara lain, menambahkan Bab XA ke dalam konstitusi (UUD 1945) dan menandatangani instrumen hak asasi manusia internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (ICCPR). Dengan itu semua Indonesia baik secara eksternal maupun internal mengikatkan diri untuk bertindak sejalan dengan (tuntutan) rule of law. Kewajiban serupa juga muncul berkenaan dengan (pengembangan dan penegakan) hukum pidana di Indonesia. Kewajiban yang disebut terakhir mencakup dua hal: pertama kewajiban untuk mengembangkan hukum pidana yang fungsional, dan kedua, kewajiban untuk memberikan jaminan (dan perlindungan) hak (dasar) kepada setiap orang, tanpa kecuali dan tanpa memandang perbedaan-perbedaan di antara mereka. Untuk mengukur dan menguji apakah negara memenuhi syarat-syarat yang dituntut rule of law dipergunakan tolok ukur prosedural, materiil dan institusional (Bedner, 2010). Di dalam tulisan ini akan dilakukan pengujian berdasarkan tolok ukur materiil (atau asas-asas(hukum) fundamental).
Seiring dengan ragam ihtiar mewujudkan negara hukum demokratis, juga muncul tuntutan masyarakat lokal agar tradisi lokal Indonesia atau setidak-tidaknya tradisi setempat diakui dan dihormati. Kiranya Indonesia-pun dicirikan oleh keberagaman etnis, agama/keyakinan dan linguistik (bahasa) (Schefold, 1998). Perhatian terhadap kebhinekaan demikian dalam beberapa puluh tahun terakhir mengalami peningkatan pesat. Sebelumnya untuk jangka waktu lama, pemerintah pusat justru mempropagandakan kesatuan dan persatuan dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) , yang ternyata juga masih dimaktubkan di dalam konstitusi (Pasal 1(1)). Reformasi kemudian menempatkan kembali keberagaman etnis dan religi (agama/keyakinan) dilatar-depan. Perkembangan tersebut ternyata juga berdampak terhadap keberagaman hukum pidana. Terkesan bahwa perkembangan tersebut bertentangan dengan kecenderungan globalisasi yang digambarkan di atas. Penghormatan-pengakuan keberagaman juga dapat dirujuk dengan istilah lokalisasi. Kedua kecenderungan tersebut tidaklah unik Indonesia. gejala itu disebut sebagai glokalisasi. Globalisasi dan lokalisasi terjadi bersamaan dan saling terkait berkelindan.Penghormatan terhadap hak asasi berarti juga penghargaan atas kebhinekaan (pluralitas) dan pengakuan atas tradisi-tradisi lokal (Henley and Davidson, 2008). Beranjak dari konsep glokalisasi itulah, kita akan telaah perkembangan yang terjadi di dalam hukum pidana. Persoalan pokok di sini ialah bagaimana memahami kewajiban untuk memenuhi
hak-hak dasar (manusia) dan menerjemahkannya ke dalam situasi lokal (setempat). Sekaligus hal ini melibatkan upaya memahami situasi-kondisi lokal dan mencari cara bagaimana (pendekatan dan instrumen) hak asasi manusia dapat berperan untuk memperbaiki (melindungi) situasi kelompok-kelompok masyarakat (minoritas) tertentu.

Tempat-kedudukan hukum pidana di dalam masyarakat pluralistik tidak serta merta jelas. Karena itu perlu ada penjelasan tentang itu, terutama karena meningkatnya tuntutan kelompok-kelompok minoritas di Indonesia untuk memberlakukan hukum pidana mereka sendiri. Persoalannya ialah dalam batas-batas mana kelompok minoritas akan diperbolehkan (atau dapat) mengembangkan hukum pidana mereka sendiri yang menyimpang dari hukum pidana nasional. Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama akan ditelaah terlebih dahulu ketentuanketentuan pidana apa yang sebenarnya hendak dibuat dan kedudukan KUHPidana dalam masyarakat pluriform (paragraf 2). Selanjutnya akan dibahas persoalan keberagaman seperti apakah yang dimungkinkan dan dibuka beranjak dari (instrumen-instrumen) hak-hak asasi manusia pada tataran nasional (dan internasional) (paragraf 3). Di dalam paragraf 4 akan diuraikan bagaimana glokalisasi mempengaruhi pemahaman terhadap hak asasi manusia dan dengan cara itu memaksa kita menelaah lebih cermat tidak saja hukum, namun juga pengejewantahannya. Beranjak dari situ kita akan melangkah masuk ke dalam ranah filsafat dan sejarah.



1.    Pluralisasi atau fragmentasi hukum pidana indonesia

A.  Latar belakang etnis, agama atau keyakinan (religi) dan linguistik dan penetapan sebagai tindak pidana

Dalam ranah hukum pidana kita dapat diskusikan pluriformitas masyarakat dan pengaruhnya pada hukum pidana. Secara umum kiranya diterima bahwa di dalam kasus-kasus pidana konkret, hakim harus turut mempertimbangkan latarbelakang perbuatan dan pelaku. Sekalipun begitu tidak serta merta berarti bahwa dalam kasus-kasus konkret hal itu nyata dilakukan hakim. Dapat dibayangkan bahwa, dari sudut pandang objektif, dan dengan mempertimbangkan latar belakang etnis dan religi tertentu, seharusnya suatu perbuatan tertentu dapat dikategorikan sebagaitindak pidana dan bila diperbuat pelaku akan terkena sanksi. Namun hal tersebut tidak terjadi. Kendati demikian, sebaliknya juga mungkin terjadi. Bahwa sekalipun suatu perbuatan tertentu dinyatakan secara umum terlarang, penekanan pada latarbelakang etnis atau religi tertentu akan tetap berujung pada penetapan perbuatan yang sama secara khusus sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Demikian, maka persoalan apakah sunat perempuan, yang secara umum dapat dicakupkan kedalam rumusan tindak pidana penganiayaan, juga secara khusus harus dinyatakan sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Munculnya perdebatan tentang hal ini menunjukkan pula bahwa kita berhadapan dengan persoalan yang tidak sepenuhnya berada dalam ranah hukum pidana, yakni berkaitan dengan kriteria penetapan perbuatan sebagai tindak pidana (bdgkan. Simester dan Von Hirsch, 2011), namun yang sekaligus bernuansa politik(-filsafati), serta yang berkait berkelindan dengan persoalan di mana tempat kedudukan faktual dan yuridis dari kelompok-kelompok minoritas di dalam masyarakat.

B.  Sejarah perkembangan hukum pidana di Indonesia


Hukum pidana Indonesia bersumberkan pada: hukum adat, hukum agama (religi), dan hukum pidana kolonial. Baik hukum adat maupun hukum agama tidak membedakan antara hukum pidana dengan (bidang) hukum lainnya. Maka itu hanya ada hukum adat (adat recht) dan hukum agama (religieus recht). Namun secara perlahan, hukum pidana kolonial (Belanda) menjadi lebih penting. Sejak 1 januari 1918 apa yang disebut KUHPidana diberlakukan bagi semua orang yang berdiam di dalam wilayah kedaulatan negara Indonesia (Pasal 2). Kendati demikian, hukum adat dan hukum agama tetap berlaku di dalam sejumlah wilayah di dalam Hindia-Belanda. Hukum agama hanya diberlakukan untuk beberapa jenis perkara (keperdataan) saja. Perbedaan antara hukum adat dengan hukum pidana (yang diberlakukan oleh) penguasa kolonial dapat kita temukan, antara lain, dalam ranah hukum pidana materiil. Demikian, dikatakan bahwa asas ne bis in idem (Pasal 76 KUHP) tidak berlaku (Haveman, 2002: 18). Sekalipun hukum adat materiil kerap bersinggungan dan dalam banyak hal tumpang-tindih dengan hukum pidana kolonial, acapkali pula hukum adat tersebut memuat tindak pidana yang tidak ditemukan di dalam KUHP. Contohnya, rumusan sebagai tindak pidana perbuatan memutuskan pertunangan tanpa alasan, hubungan seks pranikah, pertunangan, dan aturan cara berpakaian.
Setelah kemerdekaan Indonesia, KUHP tetap diberlakukan. Sekalipun KUHP berlaku dan menjangkau setiap orang yang di Indonesia bersalah melakukan tindak pidana, ternyata hukum adat pada tataran lokal tetap menjadi sumber hukum penting. Institusi peradilan negara dapat memilih memberlakukan KUHP atau hukum adat. Situasi ini muncul bilamana perbuatan tertentu yang dihadapkan pada hakim ternyata dirumuskan sebagai tindak pidana menurut KUHP maupun menurut hukum adat dan sepanjang dalam masyarakat (lokal), tempat mana perbuatan dilakukan, aturan tersebut tercakup ke dalam hukum yang hidup (living law). Dalam selang waktu tertentu, hukum adat di Indonesia kembali menjadi sumber hukum yang semakin penting. Untuk sebahagian hal ini dapat dijelaskan dengan merujuk pada pandangan bahwa hukum adat adalah hukum khas Indonesia, yakni dalam periode ketika pemerintah sibuk memperjuangkan kesatuan dan persatuan didalam wujud Negara Kesatuan. Perkembangan ini memunculkan ragam diskusi, antara lain perihal seberapa jauh hukum adat dapat dijadikan rujukan mandiri bagi penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana. Beberapa tahun terakhir ini dapat kita tenggarai munculnya persoalan serupa berkenaan dengan hukum agama.

III.2 Unsur unsur tindak pidana

Dalam kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.   

            Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harusdilakukan.
  
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1.    Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2.    Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP; 
3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4.    Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5.    Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana  menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
1.    Sifat melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid
2.    Kwalitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3.    Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Seorang ahli hukum yaitu simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :
1.    pidana oleh hukum
2.    Bertentangan dengan hukum
3.    Dilakukan oleh orang yang bersalah 
4.    Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
III.3 Jenis jenis tindak pidana
            Tindak pidana adalah suatu perbutan yang jika ditinjau dari kacamata hukum adlah perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan aturan dan norma yang telah disepakati untuk tidak boleh dilakukan sebelumnya. Tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus, tindak pidana umum adalah segala regulasi terhadap tindak pidana ini tertuang dalam kitab undang undang hukum pidana dan sifatnya lebih umum dilakukan oleh masyarakat kalangan bawah dan akibat dari perbbuatan ini tidak dapat digolongkan kedalam kejahatan luar biasa atau  extraordinary crime. Tindak pidana khusus adalah segala perbuatan yang regulasi hukumnya dipisahkan dari kitab undang undang hukum pidana atau dengan kata lain aturan mengenai perbuatan ni dituangkan dalam undang undang tersendiri dengan tujuan mengatur lebih spesifik mengenai perbuatan tindak pidana khusus ini.
Berikut contoh tindak pidana umum dan tindak pidana khusus
Tindak pidana umum
1.    Makar
2.    Kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden
3.    Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya
4.    Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan
5.    Kejahatan terhadap ketertiban umum
6.    Perkelahian tanding
7.    Kejahatan yang membhayakan keamanan umum bagi orang atau barang
8.Kejahatan terhadap penguasa umum
9.    Pemalsuan
10.  Kejahatan terhadap asal usul perkawinan
11.  Kejahatan kesusilaan
12.  Meninggalkan orang yang perlu ditolong
13.   Penghinaan
14.  Membuka rahasia
15.  Kejahatan terhadap kemerdekaan orang
16.  Pembunuhan
17.  Penganiayaan
18.  Menyebabkan mati atau luka luka karena kealpaan
19.  Pencurian
20.  Penggelapan
21.  Penipuan
22.  Perbuatan merugikan pemihutang atau orang yang berhak
23.  Penghancuran atau perusakan barang
24.  Kejahatan jabatan
25.  Kejahatan pelayaran
26.  Tentang penadahan
27.  Pemerasan dan pengancaman
28.  Pelanggaran keamanan umum bagi orang atau barang dan kesehatan umum
29.  Pelanggaran ketertiban umum
30.  Pelanggaran terhadap penguasa
31.  Pelanggaran mengenai asal usal perkawinan
32.  Pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan
33.  Pelanggaran mengenai tanah, tanaman dan pekarangan
34.  Pelanggaran jabatan
35.  Pelanggaran jabatan

Tindak pidana khusus
1.    Tindak pidana Narkotika/Psikotropika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
2.    Tindak pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2011 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Pemberantasan Korupsi)
3.    Tindak pidana pencucian uang (UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
4.    Tindak pidana lingkungan (UU No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup)
5.    Kejahatan HAM (UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)
6.    Tindak pidana fiscal (UU tentang Perpajakan)
7.    Tindak pidana ekonomi ( UU Darurat nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan tindak pidana ekonomi.)


 
III.4 Contoh tindak pidana
1.    Tindak pidana pencucian uang (money laundry)
Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundry) sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana.Sedangkan, pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat ketentuan dalam pasal (3), (4), dan (5) UU No. 8 Tahun 2010. Intinya dalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer,mengalihkan,membelanjakan,membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya. Para pakar telah menggolongkan proses pencucian uang (money laundering) ke dalam tiga tahap, yakni:
Tahap Placement: tahap dimana menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam suatu bank, akan kemudian uang tersebut akan masuk ke dalam sistem keuangan negara yang bersangkutan. Jadi misalnaya melalui penyelundupan, ada penempatan dari uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang tunai yang bersifat ilegal itu dengan uang diperoleh secara legal. Variasi lain dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, ke dalam saham, mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing.
Tahap Layering: yang dimaksud dengan tahap layering ialah tahap dengan cara pelapisan. Berbagai cara dapat dilakukan melalui tahap ini yang tujuannya menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya ataupun asal-usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari satu negara ke negara lain dan dapat dilakukan berkali-kali, memecah-mecah jumlah dananya di bank dengan maksud mengaburkan asal usulnya, mentransfer dalam bentuk valuta asing, membeli saham, melakukan transaksi derivatif, dan lain-lain. Seringkali kali pula terjadi bahwa si penyimpan dana itu sudah merupakan lapis-lapis yang jauh, karena sudah diupayakan berkali-kali simpan menyimpan sebelumnya. Bisa juga cara ini dilakukan misalnya si pemilik uang kotor meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal. Dengan melakukan cara seperti ini, maka kelihatan bahwa kegiatan usahanya yang secara legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi.
Tahap Integration: merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal. Dengan cara ini akan tampak bahwa aktivitas yang dilakukan sekarang tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ilegal sebelumnya, dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.
Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang
Dari defenisi tindak pidana pencucian uang sebagaimana di jelaskan diatas, maka tindak pidana pencucian uang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
  1. pelaku
  2. perbuatan (transaksi keuangan atau financial) dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari bentuknya yang tidak sah (ilegal) seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (legal).
  3. merupakan hasil tindak pidana
Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur objektif (actus reus) dapat dilihat dengan adanya kegiatan menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang dengan sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.
Ketentuan yang ada dalam UU No. 8 Tahun 2010 terkait perumusan tindak pidana pencucian uang menggunakan kata “setiap orang” dimana dalam pasal 1 angka (9) ditegaskan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam pasal 1 angka (10). Dalam pasal ini disebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sementara itu, yang dimaksud dengan transaksi menurut ketentuan dalam Undang-undang ini adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Adapun transaksi keuangan diartikan sebagai transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur tindak pidana pencucian uang adalah transaksi keuangan yang mencurikan atau patut dicurigai baik transaksi dalam bentuk tunai maupun melalui proses pentransferan/memindahbukukan.
Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut ketentuan yang tertuang pada pasal 1 angka (5) UU No. 8 Tahun 2010 adalah: transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
1.    transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini
2.Transaksi keuangan yang dilakukan maupun yang batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
3.    transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Menyebutkan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana diuraikan pada Pasal 2 UU UU No. 8 Tahun 2010. Pada pasal ini Harta kekayaan yang dikualifikasikan sebagai harta kekayaan hasil tindak pidana adalah harta yang berasal dari kejahatan seperti: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migrant, bidang perbankan, bidang pasar modal, bidang asuransi, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang perpajakan, bidang lingkungan hidup, bidang kehutanan, bidang kelautan dan perikanan serta tindak pidana lain yang diancam hukuman 4 tahun penjara.
Perlu dijadikan catatan, bahwa dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang nantinya hasil tindakan pidana merupakan unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar atau tidaknya harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan adanya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut. Bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.
Dalam ketentuan sebagaimana yang sebutkan pada pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, teridentifikasi beberapa tindakan yang dapat dikualifikasi kedalam bentuk tindak pidana pencucian uang, yakni tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja:
1.    Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut diperoleh melalui tindak pidana.
2.    Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain.
3.    Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama pihak lain.
4.    Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak lain.
5.    Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik atas namanaya sendiri atau atas nama pihak lain.
6.    Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diproleh dari tindak pidana.
7.    Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.

 
2.    Tindak pidana korupsi
Pengertian Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau perekonomian Negara. Pengertian Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat  Anti korupsi secara mudahnya dapat diartikan tindakan yang tidak menyetujui terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. 
Dengan kata lain, anti korupsi merupakan sikap atau perilaku yang tidak mendukung atau menyetujui terhadap berbagai upaya yang yang dilakukan oleh seseorang atau korporasi untuk merugikana keuangan negara atau perekonomian negara yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan nasional. Untuk mendukung upaya atau tindakan anti korupsi melalui UU Republik Indonesia nomor 30 Tahun 2002 dibentuklah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Selain itu ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang sangat peduli terhadap pemberantasan korupsi, seperti Masyarakat Transparansi Indonesia atau juga Lembaga Pemantau Kekayaan Negara. 

Dalam penjelasan umum UU Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dinyatakan, bahwa Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. 

Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan telah tertuang dalam bentuk peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan Nepotisme; Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi meliputi tindak pidana korupsi yang :
1.    Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
2.    Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat;
3.    Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).

Dengan pengaturan dalam undang-undang ini, Komisi Pemberantasan Korupsi :
1.    Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai counterpartner yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif.
2.    Tidak monopoli tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
3.    Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi
4.    Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memantau institusi yang telah ada dan dalam keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penuidikan dan penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 ayat 3). Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi menurut pasal 4 adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan tugas dan wewenang KPK menurut pasal 6 adalah :
1.    Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
2.    Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
3.    Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
4.    Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi
5.    Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan Negara
 

BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
            Tindak pidana adalah merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege  (tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman.
            Adapun unsur unsur dari tindak pidana itu sendiri adalah sebagai berikut :
A.  Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1.    Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2.    Maksud atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3.    Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4.    Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5.    Perasaan takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana  menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1.    Sifat melanggar hukum
2.    Kwalitas dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP.
3.    Kausalitas yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu kenyataan sebagai akibat.

Seorang ahli hukum yaitu simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :
1.    pidana oleh hukum
2.    Bertentangan dengan hukum
3.    Dilakukan oleh orang yang bersalah 
4.    Orang itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.

 
Tindak pidana dapat dibedakan menjadi dua, yakni tindak pidana umum dan tindak pidana khusus. Berikut contoh tindak pidana umum dan tindak pidana khusus :
Tindak pidana umum
1.    Makar
2.    Kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden
3.     Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya
4.    Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan
5.     Kejahatan terhadap ketertiban umum
6.    Perkelahian tanding
7.    Kejahatan yang membhayakan keamanan umum bagi orang atau barang
8.    Kejahatan terhadap penguasa umum
9.    Pemalsuan
10.    Kejahatan terhadap asal usul perkawinan
11.    Kejahatan kesusilaan
12.    Meninggalkan orang yang perlu ditolong
13.    Penghinaan
14.    Membuka rahasia
15.    Kejahatan terhadap kemerdekaan orang
16.    Pembunuhan
17.    Penganiayaan
18.    Menyebabkan mati atau luka luka karena kealpaan
19.    Pencurian
20.    Penggelapan
21.    Penipuan
22.    Perbuatan merugikan pemihutang atau orang yang berhak
23.    Penghancuran atau perusakan barang
24.    Kejahatan jabatan
25.    Kejahatan pelayaran
26.    Tentang penadahan
27.    Pemerasan dan pengancaman
28.    Pelanggaran keamanan umum bagi orang atau barang dan kesehatan umum
29.    Pelanggaran ketertiban umum
30.    Pelanggaran terhadap penguasa
31.    Pelanggaran mengenai asal usal perkawinan
32.    Pelanggaran terhadap orang yang memerlukan pertolongan
33.    Pelanggaran mengenai tanah, tanaman dan pekarangan
34.    Pelanggaran jabatan
Tindak pidana khusus
1.    Tindak pidana Narkotika/Psikotropika (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
2.    Tindak pidana Korupsi (UU No.31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2011 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Upaya Pemberantasan Korupsi)
3.    Tindak pidana pencucian uang (UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
4.    Tindak pidana lingkungan (UU No.32 Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup)
5.Kejahatan HAM (UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia)
6.    Tindak pidana fiscal (UU tentang Perpajakan)
7.    Tindak pidana ekonomi ( UU Darurat nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan tindak pidana ekonomi.)

IV.2 Saran
            Dalam penyusunan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan, baik isi makalah yang masih minim maupun penyusunan dan tata pengaturan yang belum sempurna. Maka dari itu kami mengaharapkan kritik dan saran dari saudara (i) pembaca jika menemui kekeliruan dalam makalah ini, agar makalah ini dapat disempurnakan selanjutnya



DAFTAR PUSTAKA
Ilyas, Amir, 2012, Asas asas hukum pidana, Mahakarya Rangkang offset Yogyakarta. Yogyakarta
Kitab Undang Undang Hukum Pidana
http://www.google.com

Featured Section

featured/recent

Simple Grid

6/sgrid/recent