Makalah Hukum Pidana
BAB
I
PENDAHULUAN
I.1
Latar Belakang
Indonesia
adalah negara kesatuan yang berbentuk republik yang bercirikan hukum sebagai
acuan negara dalam mengatur masyarakatnya yang begitu plural dan beraneka
ragam, hal ini memungkinkan negara dapat mengontrol secara penuh gerak gerik
dari masyarakatnya. Setiap gerak tindak masyarakatnya harus diawasi agar gerak
tindak tersebut tidak mengganggu masyarakat lainnya yang memiliki hak yang sama
dalam memperoleh kehidupan, tindakan ini dapat digolongkan dalam beberapa
tindakan, yakni tindakan yang positif yang dapat mendatangkan manfaat bagi
masyarakat lain dan tindakan negatif yang menimbulkan kereseahan untuk
masayarakat disekitarnya. Dalam pembahasan ini kami penulis memfokuskan pada
tindakan negatif, dalam hal ini adalah tindakan pidana yang menimbulkan
peristiwa hukum dan wajib untuk diusut oleh pihak yang berwajib.
Dengan begitu beragammnya tindakan yang dilakukan oleh
masyarakat dimasa kontemporer, maka pemerintah harus selangkah lebih maju dari
tindakan yang dilakukan oleh masayarakat dan dapat menjalankan pengawasan
terhadap rakyatnya agar timbul rasa aman dan nyaman dilingkungan masyarakat.
Manusia adalah makhluk sosial, yang oleh aristoteles
disebut zoon politicon, manusia memiliki cita cita, keinginan,
kebutuhan dan usaha yang berbeda dan berkaitan erat dengan kehidupan orang
lain, adakalanya prilaku seperti ini menimbulkan persaingan diantara manusia
itu sendiri. Dikhawatirkan perilaku manusia akan menjadi seperti homo homini lupus yang sewaktu waktu
akan timbul kepermukaan dan akan sangat membahayakan.
I.2
Rumusan Masalah
Apa saja sikap
tindak atau dalam hal ini tindakan pidana yang diatur dalam hukum positif
indonesia?
I.3
Tujuan
Untuk mengetahui
tindakan-tindakan pidana apa saja yang diatur oleh hukum positif Indonesia yang
oleh karena tidak sesuai dengan falsafah hidup bangsa indonesia, yakni
mengedepankan kesamaan hak tanpa intervensi dari pihak lain.
I.4
Manfaat
Manfaat yang
dapat diambil yakni kita dapat mengetahui tindak pidana baik tindak pidana umum
maupun tindak pidana khusus serta regulasi yang mengaturnya dalam ruang lingkup
hukum positif Indonesia
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
mengenal dengan istilah stratbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum
pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang-undang
merumuskan suatu undang-undang mempergunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana. Tindak pidana merupakan suatu istilah
yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang
dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum
pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa
yang kongkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah
diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas untuk dapat
memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupanmasyarakat.
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”
Seperti yang diungkapkan oleh seorang ahli hukum pidana yaitu Prof. Moeljatno, SH, yang berpendapat bahwa pengertian tindak pidana yang menurut istilah beliau yakni perbuatan pidana adalah: ”Perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.”
Jadi berdasarkan pendapat tersebut di atas pengertian dari tindak pidana yang dimaksud adalah bahwa perbuatan pidana atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan tersebut ditujukan kepada perbuatan sedangkan ancamannya atau sanksi pidananya ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang menimbulkan kejadian tersebut. Dalam hal ini maka terhadap setiap orang yang melanggar aturan-aturan hukum yang berlaku, dengan demikian dapat dikatakan terhadap orang tersebut sebagai pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi haruslah diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang erat, oleh karenanya antara kejadian dengan orang yang menimbulkan kejadian juga mempunyai hubungan yang erat pula.
Sehubungan dengan hal pengertian tindak pidana ini Prof. DR. Bambang Poernomo, SH, berpendapat bahwa perumusan mengenai perbuatan pidana akan lebih lengkap apabila tersusun sebagai berikut:
“Bahwa perbuatan
pidana adalah suatu perbuatan yang oleh suatu aturan hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.”
Adapun perumusan tersebut yang mengandung kalimat “Aturan hukum pidana” dimaksudkan akan memenuhi keadaan hukum di Indonesia yang masih mengenal kehidupan hukum yang tertulis maupun hukum yang tidak tertulis, Prof.DR. Bambang Poernomo, SH, juga berpendapat mengenai kesimpulan dari perbuatan pidana yang dinyatakan hanya menunjukan sifat perbuatan terlarang dengan diancam pidana.
Maksud dan tujuan diadakannya istilah tindak pidana, perbuatan pidana, maupun peristiwa hukum dan sebagainya itu adalah untuk mengalihkan bahasa dari istilah asing stafbaar feit namun belum jelas apakah disamping mengalihkan bahasa dari istilah sratfbaar feit dimaksudkan untuk mengalihkan makna dan pengertiannya, juga oleh karena sebagian besar kalangan ahli hukum belum jelas dan terperinci menerangkan pengertian istilah, ataukah sekedar mengalihkan bahasanya, hal ini yang merupakan pokok perbedaan pandangan, selain itu juga ditengan-tengan masyarakat juga dikenal istilah kejahatan yang menunjukan pengertian perbuatan melanggar morma dengan mendapat reaksi masyarakat melalui putusan hakim agar dijatuhi pidana.
Tindak pidana adalah
merupakan suatu dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah
melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas
perbuatan yang telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan
diancamnya suatu perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu
berdasarkan azas legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa
tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak
ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal
dalam bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege
(tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini
berasal dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman. Asas legalitas ini
dimaksud mengandung tiga pengertian yaitu:
· Tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu
belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
· Untuk menentukan
adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi.
· Aturan-aturan
hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
Tindak pidana merupakan bagian dasar dari pada suatu kesalahan yang dilakukan terhadap seseorang dalam melakukan suatu kejahatan. Jadi untuk adanya kesalahan hubungan antara keadaan dengan perbuatannya yang menimbulkan celaan harus berupa kesengajaan atau kelapaan. Dikatakan bahwa kesengajaan (dolus) dan kealpaan (culpa) adalah bentuk-bentuk kesalahan sedangkan istilah dari pengertian kesalahan (schuld) yang dapat menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana adalah karena seseorang tersebut telah melakukan suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum sehingga atas`perbuatannya tersebut maka dia harus bertanggung jawabkan segala bentuk tindak pidana yang telah dilakukannya untuk dapat diadili dan bilamana telah terbukti benar bahwa telah terjadinya suatu tbkindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang maka dengan begitu dapat dijatuhi hukuman pidana sesuai dengan pasal yang mengaturnya.
BAB
III
PEMBAHASAN
III.1
Hukum pidana dalam masyarakat pulralistik
Akhir masa pemerintahan Orde Baru memunculkan
harapan bahwa Indonesia akan berkembang menjadi negara hukum demokratis yang
menghormati dan menjunjung tinggi rule of law. Dalam rangka mewujudkan hal
tersebut telah diambil berbagai langkah formal, antara lain, menambahkan Bab XA
ke dalam konstitusi (UUD 1945) dan menandatangani instrumen hak asasi manusia
internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
(ICCPR). Dengan itu semua Indonesia baik secara eksternal maupun internal
mengikatkan diri untuk bertindak sejalan dengan (tuntutan) rule of law.
Kewajiban serupa juga muncul berkenaan dengan (pengembangan dan penegakan)
hukum pidana di Indonesia. Kewajiban yang disebut terakhir mencakup dua hal:
pertama kewajiban untuk mengembangkan hukum pidana yang fungsional, dan kedua,
kewajiban untuk memberikan jaminan (dan perlindungan) hak (dasar) kepada setiap
orang, tanpa kecuali dan tanpa memandang perbedaan-perbedaan di antara mereka.
Untuk mengukur dan menguji apakah negara memenuhi syarat-syarat yang dituntut
rule of law dipergunakan tolok ukur prosedural, materiil dan institusional
(Bedner, 2010). Di dalam tulisan ini akan dilakukan pengujian berdasarkan tolok
ukur materiil (atau asas-asas(hukum) fundamental).
Seiring dengan ragam ihtiar mewujudkan
negara hukum demokratis, juga muncul tuntutan masyarakat lokal agar tradisi
lokal Indonesia atau setidak-tidaknya tradisi setempat diakui dan dihormati.
Kiranya Indonesia-pun dicirikan oleh keberagaman etnis, agama/keyakinan dan
linguistik (bahasa) (Schefold, 1998). Perhatian terhadap kebhinekaan demikian
dalam beberapa puluh tahun terakhir mengalami peningkatan pesat. Sebelumnya
untuk jangka waktu lama, pemerintah pusat justru mempropagandakan kesatuan dan
persatuan dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) , yang
ternyata juga masih dimaktubkan di dalam konstitusi (Pasal 1(1)). Reformasi
kemudian menempatkan
kembali keberagaman etnis dan religi (agama/keyakinan) dilatar-depan.
Perkembangan tersebut ternyata juga berdampak terhadap keberagaman hukum
pidana. Terkesan bahwa perkembangan tersebut bertentangan dengan kecenderungan
globalisasi yang digambarkan di atas. Penghormatan-pengakuan keberagaman juga
dapat dirujuk dengan istilah lokalisasi. Kedua kecenderungan tersebut tidaklah
unik Indonesia. gejala itu disebut sebagai glokalisasi. Globalisasi dan
lokalisasi terjadi bersamaan dan saling terkait berkelindan.Penghormatan
terhadap hak asasi berarti juga penghargaan atas kebhinekaan (pluralitas) dan
pengakuan atas tradisi-tradisi lokal (Henley and Davidson, 2008). Beranjak dari
konsep glokalisasi itulah, kita akan telaah perkembangan yang terjadi di dalam
hukum pidana. Persoalan pokok di sini ialah bagaimana memahami kewajiban untuk
memenuhi
hak-hak dasar (manusia)
dan menerjemahkannya ke dalam situasi lokal (setempat). Sekaligus hal ini
melibatkan upaya memahami situasi-kondisi lokal dan mencari cara bagaimana
(pendekatan dan instrumen) hak asasi manusia dapat berperan untuk memperbaiki
(melindungi) situasi kelompok-kelompok masyarakat (minoritas) tertentu.
1.
Pluralisasi atau
fragmentasi hukum pidana indonesia
A.
Latar
belakang etnis, agama atau keyakinan (religi) dan linguistik dan penetapan
sebagai tindak pidana
Dalam
ranah hukum pidana kita dapat diskusikan pluriformitas masyarakat dan
pengaruhnya pada hukum pidana. Secara umum kiranya diterima bahwa di dalam
kasus-kasus pidana konkret, hakim harus turut mempertimbangkan latarbelakang
perbuatan dan pelaku. Sekalipun begitu tidak serta merta berarti bahwa dalam
kasus-kasus konkret hal itu nyata dilakukan hakim. Dapat dibayangkan bahwa,
dari sudut pandang objektif, dan dengan mempertimbangkan latar belakang etnis
dan religi tertentu, seharusnya suatu perbuatan tertentu dapat dikategorikan sebagaitindak
pidana dan bila diperbuat pelaku akan terkena sanksi. Namun hal tersebut tidak
terjadi. Kendati demikian, sebaliknya juga mungkin terjadi. Bahwa sekalipun
suatu perbuatan tertentu dinyatakan secara umum terlarang, penekanan pada
latarbelakang etnis atau religi tertentu akan tetap berujung pada penetapan
perbuatan yang sama secara khusus sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri.
Demikian, maka persoalan apakah sunat perempuan, yang secara umum dapat
dicakupkan kedalam rumusan tindak pidana penganiayaan, juga secara khusus harus
dinyatakan sebagai tindak pidana yang berdiri sendiri. Munculnya perdebatan
tentang hal ini menunjukkan pula bahwa kita berhadapan dengan persoalan yang
tidak sepenuhnya berada dalam ranah hukum pidana, yakni berkaitan dengan
kriteria penetapan perbuatan sebagai tindak pidana (bdgkan. Simester dan Von
Hirsch, 2011), namun yang sekaligus bernuansa politik(-filsafati), serta yang
berkait berkelindan dengan persoalan di mana tempat kedudukan faktual dan
yuridis dari kelompok-kelompok minoritas di dalam masyarakat.
B.
Sejarah
perkembangan hukum pidana di Indonesia
Setelah kemerdekaan Indonesia, KUHP
tetap diberlakukan. Sekalipun KUHP berlaku dan menjangkau setiap orang yang di
Indonesia bersalah melakukan tindak pidana, ternyata hukum adat pada tataran lokal
tetap menjadi sumber hukum penting. Institusi peradilan negara dapat memilih
memberlakukan KUHP atau hukum adat. Situasi ini muncul bilamana perbuatan
tertentu yang dihadapkan pada hakim ternyata dirumuskan sebagai tindak pidana
menurut KUHP maupun menurut hukum adat dan sepanjang dalam masyarakat (lokal),
tempat mana perbuatan dilakukan, aturan tersebut tercakup ke dalam hukum yang
hidup (living law). Dalam selang waktu tertentu, hukum adat di Indonesia
kembali menjadi sumber hukum yang semakin penting. Untuk sebahagian hal ini
dapat dijelaskan dengan merujuk pada pandangan bahwa hukum adat adalah hukum
khas Indonesia, yakni dalam periode ketika pemerintah sibuk memperjuangkan
kesatuan dan persatuan didalam wujud Negara Kesatuan. Perkembangan ini
memunculkan ragam diskusi, antara lain perihal seberapa jauh hukum adat dapat
dijadikan rujukan mandiri bagi penetapan suatu perbuatan sebagai tindak pidana.
Beberapa tahun terakhir ini dapat kita tenggarai munculnya persoalan serupa
berkenaan dengan hukum agama.
III.2 Unsur unsur tindak pidana
Dalam
kita menjabarkan sesuatu rumusan delik kedalam unsur-unsurnya, maka yang
mula-mula dapat kita jumpai adalah disebutkan sesuatu tindakan manusia, dengan
tindakan itu seseorang telah melakukan sesuatu tindakan yang terlarang oleh
undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang
Hukum Pidana (KUHP) pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur yang
terdiri dari unsur subjektif dan unsur objektif.
Unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri si pelaku, dan termasuk ke dalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Sedangkan unsur objektif adalah unsur-unsur yang ada hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan-tindakan dari si pelaku itu harusdilakukan.
Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1.
Kesengajaan
atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2.
Maksud
atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam
Pasal 53 ayat 1 KUHP;
4.
Merencanakan
terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan
pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5.
Perasaan
takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut
Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari sutau tindak pidana itu adalah:
1.
Sifat
melanggar hukum atau wederrechtelicjkheid
2.
Kwalitas
dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam
kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398
KUHP.
3.
Kausalitas
yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu
kenyataan sebagai akibat.
Seorang ahli hukum yaitu simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :
1.
pidana
oleh hukum
2.
Bertentangan
dengan hukum
3.
Dilakukan
oleh orang yang bersalah
4.
Orang
itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
III.3 Jenis
jenis tindak pidana
Tindak
pidana adalah suatu perbutan yang jika ditinjau dari kacamata hukum adlah
perbuatan manusia yang tidak sesuai dengan aturan dan norma yang telah
disepakati untuk tidak boleh dilakukan sebelumnya. Tindak pidana dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu tindak pidana umum dan tindak pidana khusus,
tindak pidana umum adalah segala regulasi terhadap tindak pidana ini tertuang
dalam kitab undang undang hukum pidana dan sifatnya lebih umum dilakukan oleh
masyarakat kalangan bawah dan akibat dari perbbuatan ini tidak dapat
digolongkan kedalam kejahatan luar biasa atau extraordinary crime. Tindak
pidana khusus adalah segala perbuatan yang regulasi hukumnya dipisahkan dari
kitab undang undang hukum pidana atau dengan kata lain aturan mengenai
perbuatan ni dituangkan dalam undang undang tersendiri dengan tujuan mengatur
lebih spesifik mengenai perbuatan tindak pidana khusus ini.
Berikut contoh tindak pidana umum dan
tindak pidana khusus
Tindak pidana umum
1. Makar
2. Kejahatan terhadap martabat presiden
dan wakil presiden
3. Kejahatan terhadap negara sahabat
dan terhadap kepala negara sahabat dan wakilnya
4. Kejahatan terhadap melakukan kewajiban
dan hak kenegaraan
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum
6. Perkelahian tanding
7. Kejahatan yang membhayakan keamanan
umum bagi orang atau barang
9. Pemalsuan
10. Kejahatan terhadap asal usul
perkawinan
11. Kejahatan kesusilaan
12. Meninggalkan orang yang perlu
ditolong
13. Penghinaan
14. Membuka rahasia
15. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang
16. Pembunuhan
17. Penganiayaan
18. Menyebabkan mati atau luka luka
karena kealpaan
19. Pencurian
20. Penggelapan
21. Penipuan
22. Perbuatan merugikan pemihutang atau
orang yang berhak
23. Penghancuran atau perusakan barang
24. Kejahatan jabatan
25. Kejahatan pelayaran
26. Tentang penadahan
27. Pemerasan dan pengancaman
28. Pelanggaran keamanan umum bagi orang
atau barang dan kesehatan umum
29. Pelanggaran ketertiban umum
30. Pelanggaran terhadap penguasa
31. Pelanggaran mengenai asal usal
perkawinan
32. Pelanggaran terhadap orang yang
memerlukan pertolongan
33. Pelanggaran mengenai tanah, tanaman
dan pekarangan
34. Pelanggaran jabatan
35. Pelanggaran jabatan
Tindak pidana khusus
1. Tindak pidana Narkotika/Psikotropika
(Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
2. Tindak pidana Korupsi (UU No.31
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2011 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Upaya
Pemberantasan Korupsi)
3. Tindak pidana pencucian uang (UU No.
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
4. Tindak pidana lingkungan (UU No.32
Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup)
5. Kejahatan HAM (UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia)
6. Tindak pidana fiscal (UU tentang
Perpajakan)
7. Tindak pidana ekonomi ( UU Darurat
nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan tindak pidana
ekonomi.)
III.4 Contoh tindak pidana
1.
Tindak pidana
pencucian uang (money laundry)
Tindak Pidana Pencucian uang (Money
Laundry) sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa
kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini
ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow
up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau
kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime
atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu
kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian.
Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU
No. 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang
tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku,
unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak
pidana.Sedangkan, pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat
ketentuan dalam pasal (3), (4), dan (5) UU No. 8 Tahun 2010. Intinya dalah
bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang
dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan,
mentransfer,mengalihkan,membelanjakan,membayarkan, menghibahkan, menitipkan,
membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat
berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau
menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan
mengusainya. Para pakar telah menggolongkan proses pencucian uang (money
laundering) ke dalam tiga tahap, yakni:
Tahap Placement: tahap dimana menempatkan dana yang
dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang
kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Sejumlah uang yang ditempatkan dalam
suatu bank, akan kemudian uang tersebut akan masuk ke dalam sistem keuangan
negara yang bersangkutan. Jadi misalnaya melalui penyelundupan, ada penempatan
dari uang tunai dari suatu negara ke negara lain, menggabungkan antara uang
tunai yang bersifat ilegal itu dengan uang diperoleh secara legal. Variasi lain
dengan menempatkan uang giral ke dalam deposito bank, ke dalam saham,
mengkonversi dan mentransfer ke dalam valuta asing.
Tahap Integration: merupakan tahap menyatukan kembali
uang-uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di
atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai
kegiatan-kegiatan legal. Dengan cara ini akan tampak bahwa aktivitas yang
dilakukan sekarang tidak berkaitan dengan kegiatan-kegiatan ilegal sebelumnya,
dan dalam tahap inilah kemudian uang kotor itu telah tercuci.
Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang
Dari defenisi tindak pidana
pencucian uang sebagaimana di jelaskan diatas, maka tindak pidana pencucian
uang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
- pelaku
- perbuatan (transaksi keuangan atau financial) dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari bentuknya yang tidak sah (ilegal) seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (legal).
- merupakan hasil tindak pidana
Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari:
unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur
objektif (actus reus) dapat dilihat dengan adanya kegiatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan,
menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta
kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan
unsur subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang
dengan sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari
hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta
tersebut.
Ketentuan yang ada dalam UU No. 8
Tahun 2010 terkait perumusan tindak pidana pencucian uang menggunakan kata “setiap orang” dimana dalam pasal 1
angka (9) ditegaskan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau
korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam pasal 1 angka
(10). Dalam pasal ini disebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang
dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum. Sementara itu, yang dimaksud dengan transaksi menurut ketentuan dalam Undang-undang ini adalah
seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya
hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Adapun transaksi keuangan diartikan sebagai transaksi untuk melakukan
atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan,
pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan atau kegiatan lain
yang berhubungan dengan uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur tindak
pidana pencucian uang adalah transaksi keuangan yang mencurikan atau patut
dicurigai baik transaksi dalam bentuk tunai maupun melalui proses
pentransferan/memindahbukukan.
Transaksi Keuangan Mencurigakan
menurut ketentuan yang tertuang pada pasal 1 angka (5) UU No. 8 Tahun 2010
adalah: transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau
kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
1. transaksi keuangan oleh pengguna
jasa keuangan yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini
3. transaksi keuangan yang diminta oleh
PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang
diduga berasal dari hasil tindak pidana.
Menyebutkan tindak pidana pencucian
uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, dimana perbuatan
melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan
atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak
pidana diuraikan pada Pasal 2 UU UU No. 8 Tahun 2010. Pada pasal ini Harta
kekayaan yang dikualifikasikan sebagai harta kekayaan hasil tindak pidana
adalah harta yang berasal dari kejahatan seperti: korupsi, penyuapan,
narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migrant,
bidang perbankan, bidang pasar modal, bidang asuransi, kepabeanan, cukai,
perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian,
penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang
perpajakan, bidang lingkungan hidup, bidang kehutanan, bidang kelautan dan
perikanan serta tindak pidana lain yang diancam hukuman 4 tahun penjara.
Perlu dijadikan catatan, bahwa dalam
pembuktian tindak pidana pencucian uang nantinya hasil tindakan pidana
merupakan unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar atau
tidaknya harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan
membuktikan adanya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut.
Bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate
crime) yang menghasilkan harta kekayaan.
Dalam ketentuan sebagaimana yang
sebutkan pada pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, teridentifikasi beberapa tindakan
yang dapat dikualifikasi kedalam bentuk tindak pidana pencucian uang, yakni
tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja:
1. Menempatkan harta kekayaan ke dalam
penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut diperoleh melalui
tindak pidana.
2. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya
atau patut diduga merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu
penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama
sendiri maupun atas nama orang lain.
3. Membelanjakan atau menggunakan harta
kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari
tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama pihak lain.
4. Menghibahkan atau menyumbangkan
harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh
dari hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak
lain.
5. Menitipkan harta kekayaan yang
diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak
pidana, baik atas namanaya sendiri atau atas nama pihak lain.
6. Membawa ke luar negeri harta yang
diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diproleh dari tindak pidana.
7. Menukarkan atau perbuatan lainnya
terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil
tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan tujuan untuk
menyembunyikan/menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.
2.
Tindak pidana
korupsi
Pengertian Korupsi adalah tindakan yang dilakukan oleh
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan negara atau
perekonomian Negara. Pengertian Korupsi
adalah tindakan yang dilakukan oleh setiap orang yang kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat Anti korupsi secara mudahnya dapat diartikan tindakan yang tidak
menyetujui terhadap berbagai upaya yang dilakukan oleh setiap orang yang dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.
Dengan kata lain, anti korupsi merupakan sikap atau
perilaku yang tidak mendukung atau menyetujui terhadap berbagai upaya yang yang
dilakukan oleh seseorang atau korporasi untuk merugikana keuangan negara atau
perekonomian negara yang dapat menghambat pelaksanaan pembangunan nasional.
Untuk mendukung upaya atau tindakan anti korupsi melalui UU Republik Indonesia nomor 30 Tahun 2002
dibentuklah Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Selain itu ada Lembaga Swadaya Masyarakat yang sangat
peduli terhadap pemberantasan korupsi, seperti Masyarakat Transparansi
Indonesia atau juga Lembaga Pemantau Kekayaan Negara.
Dalam penjelasan umum UU Republik Indonesia Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dinyatakan, bahwa Tindak pidana
korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat. Perkembangannya terus
meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah
kerugian keuangan negara maupun dari segi kualitas tindak pidana yang dilakukan
semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan
masyarakat. Meningkatnya tindak pidana korupsi yang tidak terkendali akan
membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional tetapi juga
pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah
Indonesia telah meletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi
tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan telah tertuang dalam bentuk peraturan
perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XI/MPR/1998
tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan
Nepotisme; Undang-undang nomor 28 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang nomor 20 tahun
2001 tentang Perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Kewenangan Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam
melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi
meliputi tindak pidana korupsi yang :
1. Melibatkan aparat penegak hukum,
penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana
korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
2. Mendapat perhatian yang meresahkan
masyarakat;
3. Menyangkut kerugian negara paling
sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
1. Dapat menyusun jaringan kerja
(networking) yang kuat dan memperlakukan institusi yang telah ada sebagai counterpartner
yang kondusif sehingga pemberantasan korupsi dapat dilaksanakan secara efisien
dan efektif.
2. Tidak monopoli tugas dan wewenang
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
3. Berfungsi sebagai pemicu dan
pemberdayaan institusi yang telah ada dalam pemberantasan korupsi
4. Berfungsi untuk melakukan supervisi
dan memantau institusi yang telah ada dan dalam keadaan tertentu dapat
mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penuidikan dan penuntutan
(superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaan.
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi adalah serangkaian
tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi melalui upaya
koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan
pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 1 ayat 3). Tujuan dibentuknya Komisi Pemberantasan
Korupsi menurut pasal 4 adalah untuk meningkatkan daya guna dan
hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Sedangkan tugas
dan wewenang KPK menurut pasal 6 adalah :
1. Koordinasi dengan instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
2. Supervisi terhadap instansi yang
berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi
3. Melakukan penyelidikan, penyidikan,
dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi
4. Melakukan tindakan-tindakan
pencegahan tindak pidana korupsi
5. Melakukan monitor terhadap
penyelenggaraan pemerintahan Negara
BAB IV
PENUTUP
IV.1 Kesimpulan
Tindak pidana adalah merupakan suatu
dasar yang pokok dalam menjatuhi pidana pada orang yang telah melakukan
perbuatan pidana atas dasar pertanggung jawaban seseorang atas perbuatan yang
telah dilakukannya, tapi sebelum itu mengenai dilarang dan diancamnya suatu
perbuatan yaitu mengenai perbuatan pidanya sendiri, yaitu berdasarkan azas
legalitas (Principle of legality) asas yang menentukan bahwa tidak ada
perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika tidak ditentukan
terlebih dahulu dalam perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam
bahasa latin sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak
ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan lebih dahulu), ucapan ini berasal
dari von feurbach, sarjana hukum pidana Jerman.
Adapun unsur unsur dari tindak pidana itu sendiri adalah
sebagai berikut :
A. Unsur-unsur subjektif dari suatu tindak pidana itu
adalah:
1.
Kesengajaan
atau ketidaksengajaan (dolus atau Culpa);
2.
Maksud
atau Voornemen pada suatu percobaan atau pogging seperti yang dimaksud dalam
Pasal 53 ayat 1 KUHP;
3.
Macam-macam
maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, pemalsuan dan lain-lain;
4.
Merencanakan
terlebih dahulu atau voorbedachte raad seperti yang terdapat di dalam kejahatan
pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;
5.
Perasaan
takut yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana menurut
Pasal 308 KUHP.
Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:
1.
Sifat
melanggar hukum
2.
Kwalitas
dari si pelaku, misalnya kedaan sebagai seorang pegawai negeri di dalam
kejahatan jabatan menurut pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus atau
komisaris dari suatu Perseroan Terbatas di dalam kejahatan menurut Pasal 398
KUHP.
3.
Kausalitas
yakni hubungan antara suatu tindak pidana sebagai penyebab dengan sesuatu
kenyataan sebagai akibat.
Seorang ahli hukum yaitu simons merumuskan unsur-unsur tindak pidana sebagai berikut :
1.
pidana
oleh hukum
2.
Bertentangan
dengan hukum
3.
Dilakukan
oleh orang yang bersalah
4.
Orang
itu dipandang bertanggung jawab atas perbuatannya.
Tindak pidana
dapat dibedakan menjadi dua, yakni tindak pidana umum dan tindak pidana khusus.
Berikut contoh tindak pidana umum dan tindak pidana khusus :
Tindak pidana umum
1. Makar
2. Kejahatan terhadap martabat presiden
dan wakil presiden
3. Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap
kepala negara sahabat dan wakilnya
4. Kejahatan terhadap melakukan
kewajiban dan hak kenegaraan
5. Kejahatan terhadap ketertiban umum
6. Perkelahian tanding
7. Kejahatan yang membhayakan keamanan
umum bagi orang atau barang
8. Kejahatan terhadap penguasa umum
9. Pemalsuan
10. Kejahatan terhadap asal usul perkawinan
11. Kejahatan kesusilaan
12. Meninggalkan orang yang perlu ditolong
13. Penghinaan
14. Membuka rahasia
15. Kejahatan terhadap kemerdekaan orang
16. Pembunuhan
17. Penganiayaan
18. Menyebabkan mati atau luka luka karena kealpaan
19. Pencurian
20. Penggelapan
21. Penipuan
22. Perbuatan merugikan pemihutang atau
orang yang berhak
23. Penghancuran atau perusakan barang
24. Kejahatan jabatan
25. Kejahatan pelayaran
26. Tentang penadahan
27. Pemerasan dan pengancaman
28. Pelanggaran keamanan umum bagi orang
atau barang dan kesehatan umum
29. Pelanggaran ketertiban umum
30. Pelanggaran terhadap penguasa
31. Pelanggaran mengenai asal usal
perkawinan
32. Pelanggaran terhadap orang yang
memerlukan pertolongan
33. Pelanggaran mengenai tanah, tanaman
dan pekarangan
34. Pelanggaran jabatan
Tindak pidana khusus
1. Tindak pidana Narkotika/Psikotropika
(Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika)
2. Tindak pidana Korupsi (UU No.31
Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2011 tentang Tindak Pidana Korupsi dan Upaya
Pemberantasan Korupsi)
3. Tindak pidana pencucian uang (UU No.
8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang)
4. Tindak pidana lingkungan (UU No.32
Tahun 2009 tentang Lingkungan Hidup)
6. Tindak pidana fiscal (UU tentang
Perpajakan)
7. Tindak pidana ekonomi ( UU Darurat
nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan tindak pidana
ekonomi.)
IV.2 Saran
Dalam
penyusunan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan, baik isi makalah
yang masih minim maupun penyusunan dan tata pengaturan yang belum sempurna.
Maka dari itu kami mengaharapkan kritik dan saran dari saudara (i) pembaca jika
menemui kekeliruan dalam makalah ini, agar makalah ini dapat disempurnakan
selanjutnya
DAFTAR PUSTAKA
Ilyas,
Amir, 2012, Asas asas hukum pidana,
Mahakarya Rangkang offset Yogyakarta. Yogyakarta
Kitab
Undang Undang Hukum Pidana
Post a Comment