Makalah Hukum Agraria
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tanah
adalah salah satu sumber kehidupan yang
sangat vital bagi manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari
penghidupan (pendukung mata pencaharian) diberbagai bidang seperti pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan sebagai
tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai tempat tinggal.
Ketentuan
yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu terdapat dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria
(UUPA), yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan yang diamanatkan oleh
Undang-undang dasar pada pasal 33 ayat 3 yang menyatakan bahwa “Bumi dan air
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Adapun
pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum tanah banyak tersebar dalam
berbagai peraturan perundang-undangan lainnya seperti peraturan nomor 40 tahun
1996 tentang hak guna usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai atas tanah.
Peraturan menteri agraria/kepala badan pertanahan nasional (BPN) Nomor 3 Tahun
1999 tentang pelimpahan kewenangan pemeberiaan dan pembatalan keputusan
pemberian hak atas tanah.
Dalam ruang
lingkup agraria, tanah merupakan bagian bumi yang terletak di permukaan bumi.
Tanah yang dimaksud bukanlah tanah dalam aspek yang seluas-luasnya, akan tetapi
tanah yang dikuasai oleh negara yang kemudian dimiliki oleh rakyat indonesia.
Kepemilikan tanah bisa dari hasil hibah, waris, jual/beli dan bahkan didapat
dari pembukaan lahan baru yang dilakukan oleh satu penduduk atau lebih. Berdasarkan latar belakang yang telah
dipaparkan diatas maka penulis mengangkat satu judul yakni SISTEM JUAL BELI TANAH MENURUT HUKUM ADAT DALAM PERSPEKTIF UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
NOMOR 5 TAHUN 1960
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana
sistem jual beli tanah menurut hukum adat dalam perspektif hukum positif
Indonesia?
1.3 Manfaat dan Tujuan Penulisan
Manfaat
penulisan makalah ini ialah pembaca dapat memahami inti dari sistem penjualan tanah
secara konvensional atau penjualan tanah berdasarkan hukum adat. Tujuan
penulisan makalah ialah untuk memberikan pemahaman kepada pembaca mengenai
permasalahan tanah yang sering terjadi akibat penjualan yang dilakukan secara konvensional
atau jual beli menurut hukum adat.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Hukum
Adat Dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
2.1.1 UUPA
Mengakhiri Kebhinnekaan Peraturan Pertanahan Di Indonesia
Berlakunya UUPA merupakan perubahan
yang mendasar dalam Hukum Tanah (Hukum Agraria) Indonesia.Sebelum berlakunya
UUPA, Hukum Agraria bersifat dualistik, yakni berumber pada Hukum Adat dan
hukum Agraria Barat. Sejak UUPA berlaku maka Hukum Agraria Barat tersebut
dinyatakan tidak berlaku, dan sifat dualistik tersebut juga hapus, yang berlaku
adalah UUPA sebagai hukum positif yang berlaku secara unifikasi di Indonesia.
a. Bahwa di
dalam Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya, termasuk
perekonomian, terutama masih bercorak agraris, bumi, air, dan ruang angkasa
sebagai Karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai pungsi yang sangat penting untuk
membangun masyarakat yang adil dan makmur.
b. Bahwa hukum
agraria masih berlaku sekarang ini sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan
sendi-sendi dari pemerintahan jajahan dan sebagian dipengaruhi olehnya,
sehingga bertentangan dengan rakyat dan negara di dalam menyelesaikan revolusi
nasional sekarang ini serta pembangunan semesta.
c. Bahwa dalam
hukum agraria tersebut mempunyai sifat dualisme, dengan berlakunya hukum adat
disamping hukum agraria yang didasarkan atas hukum barat.
d. Bahwa bagi
rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum.
Dalam pada itu hukum Agraria yang
berlaku sekarang ini, yang seharusnya merupakan salah satu alat yang penting
untuk membangun masyarakat yang adil dan makmur, ternyata bahkan sebaliknya,
dalam banyak hal justru merupakan penghambat tercapainya cita-cita di atas. Hal
itu disebabkan terutama :
a. Karena Hukum
Agraria yang berlaku sekarang ini tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-sendi
dari pemerintah jajahan, dan sebagian lainnya lagi dipengaruhi olehnya, hingga
bertentangan dengan kepentingan rakyat dan negara didalam melaksanakan
pembangunan semesta dalam rangka menyelesaikan revolusi nasional sekarang.
b. Karena sebagai
akibat politik hukum pemerintahan jajahan itu Hukum Agraria tersebut mempunyai
sifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan-peraturan dari hukum adat disamping
peraturan-peraturan dari yang didasarkan atas hukum barat, hal mana selain
menimbulkan berbagai masalah antar golongan yang sulit, juga tidak sesuai
dengan cita-cita persatuan bangsa.
c. Karena bagi
rakyat asli hukum agraria penjajahan itu tidak menjamin kepastian hukum
berhubung dengan itu maka perlu adanya hukum agraria baru nasional, yang akan
mengganti hukum yang berlaku sekarang ini, yang tidak lagi bersifat dualisme,
yang sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat.
2.1.2
UUPA Sebagai Hukum Pertanahan
Nasional
Peraturan dasar hukum formal sebagai
landasan yuridis dan filosofis bagi pembentukan politik UUPA adalah pasal 33
ayat (3) UUD 1945.Sebagaimana disebutkan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai
landasan konstitusional dan politik pertahanan, jika dicermati ketentuan ini
maka kata “menguasai” memberikan pernyataan kewenangan menguasai negara yang
diberi kewenangan untuk menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung
di dalamnya, kewenangan menguasai tanah yang diberikan kepada negara untuk
mengatur peruntukkannya yang ditujukan bagi masyarakat (falsafah atau jiwa dan
semangat UUPA)
Di lihat
dari segi berlaku, UUPA mempunyai dua substansi, yaitu
a.
Menyatakan tidak berlaku lagi dan mencabut Hukum
Agraria Kolonial, berarti mengakhiri hukum agraria kolonial dan menghapus
dualisme hukum agraria kolonial, dan
b. Membangun hukum agraria atau hukum tanah nasional, berarti membangun
pradigma hukum pertahanan yang berorientasi bagi kemakmuran seluruh rakyat,
berfungsi sosial dengan kemakmuran seluruh rakyat, berfungsi sosial dengan
menghormati hak dan mengakui hak pribadi, kesederhanaan dan memberikan
kepastian hukum, negara berfungsi sebagai regulator dan menempatkan hukum adat
sebagai dasarnya.
UUPA sebagai hukum pertanahan nasional mempunyai dua
sifat, yakni :
a)
Sifat nasional formil, sifat tersebut dapat dilihat.
1.
UUPA dibentuk dan dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
2. Disusun dalam Bahasa Indonesia, berlaku dalam wilayah
Indonesia.
b)
Sifat nasional materil, sifat ini dapat disimak bahwa
Hukum Agraria Nasional harus bertujuan dan bersifat nasional, yakni :
1.
Hukum Agraria Nasional berdasarkan Hukum Adat.
2. Hukum Agraria Nasional harus
sederhana.
3. Hukum Agraria Nasional harus menjamin kepastian hukum bagi
rakyat seluruh Indonesia.
4. Hukum Agraria Nasional tidak boleh mengabaikan unsur-unsur
yang bersandar pada hukum agama.
5. Fungsi bumi, air dan kekayaan alam serta ruang angkasa harus
sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia.
6. Hukum Agraria Nasional harus mewujudkan penjelmaan dari
Pancasila sebagai azas kerohanian Bangsa Indonesia.
7. Hukum agraria Nasional harus melaksanakan ketentuan pasal 33
ayat (3) UUD 1945 yang mewajibkan negara harus mengatur pemilikan, penggunaan
dan peruntukan tanah sehingga dapat dicapai penggunaan tanah untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat
.
Kehadiran UUPA mengakhiri dualisme
hukum yang berlaku sebelumnya, diganti dengan sistem hukum tanah nasional yang
didasarkan pada falsafah hukum adat. Ini berarti UUPA dimaksudkan sebagai
Undang-Undang pokok yang secara umum mengatur mengenai norma-norma hukum
agraria yang secara umum mengatur mengenai hukum tanah. Dalam pelaksanaan
sekarang ini UUPA tidak lagi memadai dalam mengantisipasi berbagai permasalahan
pertanahan yang cenderung meningkat tajam dan kompleks. Inkonsistensi
terjadinya duplikasi pengaturan mengakibatkan tumpang tindih, tidak singkron,
penafsiran yang luas tidak jarang merugikan masyarakat.
2.1.3 Kedudukan Hukum Adat
Dalam UUPA.
Hukum Indonesia dalam arti hukum
positif bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Menurut pandangan UUD 1945
sebagaimana tercantum dalam pembukaan yang berpangkal pada kemerdekaan sebagai
hak segala bangsa. Dalam kalimat selanjutnya dalam pembukaan itu menunjukkan
konsep lebih lanjut dalam garis besar dari isi kemerdekaan, yang menurut paham
Indonesia menjadi sumber materil UUD 1945. hukum dasar yang dimaksud adalah
yang merupakan wujud rumusan dari filsafat Pancasila. Hukum dasar tersebut
merupakan penjabaran dari Rechsidee. Sumbernya Rechsidee itu
ialah nilai-nilai budaya Indonesia.
Hukum adat adalah hukumnya
masyarakat yang masih sederhana, dengan lingkup personal dan teritorial yang
terbatas. Hukum Agraria Nasional dimaksudkan sebagai hukumnya masyarakat modern,
dengan lingkup personal yang meliputi seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia. Sehingga penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian
kepentingan masyarakat dalam koteks negara modern dan dunia International.
Sesuai dengan fungsi hukum adat
sebagai pelengkap hukum tertulis, maka berdasarkan pasal 5 dan penjelasan III
(1) UUPA maka hukum pelengkap itu perlu mengalami pembersihan (sanering,
retool) Lebih dulu.
Ketentuan UUPA yang mengatur
kedudukan hukum adat, selain ketentuan hukum tersebut diatas dapat dilihat
dalam bagian lain sebagai berikut :
a. Konsiderans Bagian Berpendapat : Bahwa berhubung dengan apa
yang tersebut dalam pertimbangan diatas perlu adanya hukum Agraria nasional,
yang berdasarkan hukum adat tentang tanah, yang sederhana yang menjamin
kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan tidak mengabaikan
unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
b. Pasal 2 ayat (4) : Hak menguasai dari negara tersebut diatas
pelaksanaannya dapat dikuasai kepada Daerah-daerah Swatantra dan
masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan
dengan kepentingan nasional.
c. Pasal 3 : Dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2
pelaksanaan Hak Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai
dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang
lebih tinggi.
d. Penjelasan Pasal 5 : Penegasan hukum adat dijadikan dasar dari
hukum Agraria yang baru. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (III angka 1).
Berdasrkan ketentuan-ketentuan hukum
tersebut diatas, UUPA memberikan kedudukan sebagai posisi dasar. Karena itu,
hukum adat berlaku dalam kerangka UUPA sebagai kesatuan tidak terlepas dari
UUPA itu sendiri. Dengan perkataan lain, pasal-pasal dalam UUPA merupakan
kristalisasi dari asas hukum adat sehingga UUPA itulah penjelmaan hukum adat.
Pembentukan hukum Agraria nasional
mempunyai 2 (dua) kedudukan, yaitu :
1.
“Hukum adat sebagai dasar utama”. Hukum adat sebagai
dasar utama hukum Agraria nasional disimpulkan dari Konsiderans UUPA di bawah
perkataan “Berpendapat” dan dalam Penjelasan Umum III No. 1.
2.
“Hukum adat sebagai pelngkap”. Hukum adat sebagai
pelengkap mempunyai arti, yaitu bahwa pembentukan hukum nasional yang
mewujudkan kesatuan hukum, kepastian hukum, perlindungan hukum kepada pemegang
hak memerlukan suatu proses yang memakan waktu. Selama proses itu belum
selesai, hukum tertulis yang sudah ada tetapi belum lengkap, maka memerlukan
pelengkap agar tidak terjadi kekosongan hukum.
Pemberian kedudukan hukum adat
sebagai dasar pembentukan UUPA pada hakekatya adalah merupakan pengakuan
terhadap eksistensi hukum adat yaitu :
1. Pengakuan
dan penegasan sebagai dasar hukum berlakunya hukum adat :
2. Pengakuan
terhadap Hukum-hukum adat merupakan posisi dasar berlakunya hukum adat.
3. Hukum adat
yang dimaksudkan UUPA adalah hukum adat hukum aslinya golongan rakyat pribumi
yang merupakan hukum yang hidup dalam bentuk tidak tertulis dan mengandung
unsur-unsur nasional yang asli, yaitu sifat kemasyarakatan dan kekeluargaan
yang berdasrkan keseimbangan serta diliputi oleh suasana keagamaan atau prinsip
nasionalitas, Pro kepentingan negara, Pro kepentingan bangsa, Pro Pancasila
tidak bertentangan dengan Undang-undang / peraturan perundangan yang lebih
tinggi dan ditambah unsur agama.
4. Karena itu
memberlakukan hukum adat dengan disertai dengan persyaratan, bahwa hukum adat
itu tidak boleh bertentangan dengan :
a.
Kepentingan nasionalisme dan negara yang berdasarkan
atas persatuan bangsa.
b.
Sosialisme Indonesia
c.
Peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA
d.
Peraturan-peraturan Perundangan lainnya.
e.
Unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama
f.
Pembatasan-pembatasan bagi berlakunya hukum adat
tidaklah mengurangi arti ketentuan pokok dalam UUPA, bahwa hukum Agraria
memakai hukum adat sebagai dasar dan sumber utama pembangunannya.
Pengakuan hukum adat merupakan
perlindungan hukum masyarakat adat. Pengakuan hukum adat sebagaimana disebutkan
dalam pasal 5 UUPA merupakan suatu bentuk keragu-raguan, terutama mengenai
kemampuan hukum adat dalam memenuhi tuntutan masyarakat modern. Hal ini
terutama dilontarkan oleh penganut paham kodifikasi yang intinya hukum adat
tidak menjamin kepastian hukum.
2.2
Hukum
Tanah Adat
Hukum Tanah Adat adalah hak
pemilikan dan penguasaan sebidang tanah yang hidup dalam masyarakat adat pada
masa lampau dan masa kini, ada yang tidak mempunyai bukti-bukti kepemilikan
secara autentik atau tertulis, yaitu hanya didasarkan atas pengakuan serta ada
pula yang mempunyai bukti autentik.
Hukum Tanah adat terdiri dari dua
jenis, pertama hukum tanah adat masa lampau. Hukum Tanah Adat masa
lampau ialah hak memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman penjajahan
Belanda dan Jepang, serta pada zaman Indonesia merdeka tahun 1945, tanpa bukti
kepemilikan secara autentik maupun tertulis. Jadi, hanya berdasarkan pengakuan
ciri-ciri Tanah Hukum Adat masa lampau adalah tanah-tanah dimiliki dan dikuasai
oleh seseorang dan atau sekelompok masyarakat adat yang memiliki dan menguasai
serta menggarap, mengerjakan secara tetap maupun berpindah-pindah sesuai
dengan, daerah, suku, dan budaya hukumnya, kemudian secara turun-temurun masih
berada. Kedua, hukum tanah adat masa kini, yaitu hak
memiliki dan menguasai sebidang tanah pada zaman sesudah merdeka tahun 1945
sampai sekarang, dengan bukti autentik berupa:
1. Girik, Petuk Pajak, Pipil
Misalnya di DKI Jakarta, girik
terdiri dari 2 (dua) jenis, girik milik adat yaitu tanah-tanah yang dikuasai
oleh pribumi yang telah didaftarkan sebelum dan sesudah tahun 1945. Tanah.
tersebut pada umumnya di atas tanah hak barat dan memang dari semula sudah
dikuasai oleh pribumi. Kemudian apabila dimohon haknya .sesuai
dengan Ketentuan Peraturan Menteri Pertanian dan Agraria, dapat diterbitkan
sertifikat hak milik. Untuk mengetahui status tanahnya dapat dilihat dari
riwayat tanah. Dahulu yang menaeluarkan riwayat tanah adalah Instansi Pajak
Bumi dan Bangunan dan pada saat ini adalah Kantor Kelurahan atau Kepala desa
setempat.
2. Hak Agrarisch Eigendom
Hak Agrarisch Eigendom adalah
suatu hak ciptaan pemerintah Belanda yang bertujuan akan memberikan kepada orang-orang
Indonesia suatu hak atas tanah yang kuat.
3. Milik Yayasan
Milik yayasan adalah tanah-tanah
usaha bekas tanah partikelir yang diberikan kepada penduduk yang mempunyainya
dengan hak milik (hak yasan sama dengan hak milik adat).
4. Hak atas Druwe
Hak atas druwe adalah istilah hak
milik yang dikenal di lingkungan masyarakat hukum adat di Bali.
5. Hak atas Druwe Desa
Hak atas druwe desa adalah bila
masyarakat mernbeli tanah untuk dipakai buat kepentingan-kepentingannya
sendiri, maka di sini dapat disebut "hak miliknya" dusun atau
wilayah. Dikenal dalam masyarakat Bali dengan istilah hak atas druwe desa.
6. Pesini
Pesini ialah harta kerabat tak
terbagi-bagi yang di Minahasa disebut dengan barang kalakeran. Mengenai keadaan
tetap tak terbagi-baginya barang yang diperoleh atas usaha perseorangan, yaitu
barang pesini, misalnya tanaman-tanaman di atas tanah kalakeran, maka bila
pemiliknya itu mati lantas diwarisi sebagai harta bersama dari golongan
anak-cucunya orang yang meninggal dunia itu. Jadi, golongan anak cucunya
merupakan sebagian kecil dari kerabat seluruhnya yang memiliki harta kalakeran.
7. Grant Sultan
Grant Sultan adalah semacam hak
milik adat, diberikan oleh Pemerintah Swapraja, khusus bagi kawula Swapraja,
dan didaftar di Kantor Pejabat Swapraja.
8. Landerijenbezitrecht
Tanah-tanah landerijenbezitrecht oleh
Gouw Giok Siong disebut tanah-tanah Tionghoa, karena subjeknya terbatas pada
golongan Timur Asing, terutama golongan Cina.
9. Altidjddurende Erfpacht
Altidjddurende
Erfpacht adalah pemilikan tanah persil yang berada di bawah sewa turun-temurun
untuk selama-lamanya.
10. Hak Usaha atas Tanah Bekas Partikelir
Tanah usaha adalah bagian-bagian
tanah partikelir yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) dari Peraturan tentang
Tanah-Tanah Partikelir (S.1912-422). Pasal 6 ayat (1) 5.1912 Nomor 422
mengatakan: "Semua tanah yang oleh penduduk pribumi dan penduduk yang
disamakan dengan mereka diolah, digarap atau dipelihara atas biaya dan risiko
sendiri untuk dijadikan tempat tinggal atau semacam itu, kecuali kekecualian
yang terdapat dalam reglemen ini, dianggap diberikan sebagai Tanah Usaha,
dengan syarat membayar kepada Tuan Tanah, pungutan-pungutan yang dalam hubungan
itu harus dibayarnya.
11. Fatwa Ahli Waris
Fatwa ahli waris adalah jawab (keputusan,
pendapat) yang diberikan oleh Bukti terhadap suatu masalah (dalam hal ini
masalah pewarisan).
12. Akte Peralihan Hak
Akte peralihan hak adalah perubahan
data yuridis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa peralihan hak karena
jual beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan, dan perbuatan
hukum pemindahan hak lainnya, peralihan hak karena warisan, peralihan hak
karena penggabungan atau peleburan perseroan atau koperasi dan peralihan hak
tanggungan.
13. Surat Segel di Bawah Tangan
Yaitu perbuatan hukum mengenai peralihan
sebidang tanah atas kesepakatan para pihak dan pemberian sepihak yang tidak
dibuat oleh pejabat yang berwenang. Perbuatan hukum semacam ini pada umunuiya
dilakukan masyarakat dan badan hukum scbelum berlalunya PP Nomor 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah.
14. Surat Pajak Hasil Bumi (Verponding Indonesia)
Surat Pajak Hasil Bumi (Verponding
Indonesia) adalah tanah-tanah yang dimiliki dan dikuasai oleh pribumi yang
berada di atas hak-hak barat dulunya. Kemudian didaftar di Kantor Pajak
Pendaftaran Daerah dulunya sekitar tahun 1960 sampai dengan tahun 1964. Khusus
di wilayah Provinsi DKI Jakarta, surat pajak hasil bumi (Verponding
Indonesia) ini oleh Kantor Pajak Pendaftaran Daerah telah diserahkan kepada
Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi DKI Jakarta dan riwayat
tanahnya dapat diperoleh dari Kanwil BPN Provinsi DKI Jakarta. Dan kalau
dimohon haknya bisa menjadi hak milik.
15. Hak-hak lainnya sesuai dengan daerah
berlakunya Hukum Adat tersebut
Selain hak-hak di atas, masih
terdapat hak-hak tanah adat sesuai dengan perkara yang telah putuskan oleh
pengadilan.
1. Hak Perorangan
2. Subjek Hak Milik
3. Terjadinya Hak Milik
4. Pembebasan
5. Peralihan
2.3
Sistem
Jual Beli Konvensional
Jual
beli konvensional atau jual beli berdasarkan hukum adat banyak dilakukan
diIndonesia, karena mengingat Indonesia dipenuhi dengan begitu banyak
kebudayaan dan adat yang berbeda antara daerah satu dengan daerah yang lain.
Seringkali hukum adat menjadi penengah dalam kisruh hukum nasional mengenai
beberapa hal yang muncul, seperti permasalahan kepemilikan tanah dan urusan
lainnya.
Jual beli tanah sebagai suatu
lembaga hukum, tidak secara tegas dan terperinci diatur dalam UUPA. Bahkan,
sampai sekarang belum ada peraturan yang mengatur khusus mengenai pelaksanaan
jual beli tanah. Dalam pasal 5 UUPA “Hukum agraria yang
berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam Undang undang ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama”. terdapat pernyataan bahwa Hukum Tanah Nasional kita adalah Hukum Adat,
berarti kita menggunakan konsepsi, asas-asas lembaga hukum dan sistem Hukum
Adat.Hukum Adat yang dimaksud tentunya Hukum Adat yang telah di-saneer
yang telah dihilangkan cacat-cacatnya atau disempurnakan. Jadi pengertian jual
beli tanah menurut Hukum Tanah Nasional kita adalah pengertian jual beli tanah
menurut Hukum Adat.
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa
sumber-sumber hukum tanah nasional kita berupa norma-norma hukum yang berbentuk
tertulis dan tidak tertulis, sumber-sumber huukum yang tertulis berupa
Undang-Undang Dasar 1945, UUPA, peraturan- peraturan pelaksana UUPA, dengan
peraturan- peraturan lama yang masih berlaku.Adapun sumber-sumber hukum yang
tidak tertulis adalah norma-norma Hukum Adat yang telah di-saneer dan
Hukum kebiasaan baru, termasuk yurisprudensi.
Dengan demikian ada 2 fungsi atau
peranan dari Hukum Adat. Yaitu sebagai sumber utama pembangunan Hukum Tanah
Nasional dan sebagai pelangkap dari ketentuan-ketantuan Hukum Tanah yang belum
ada peraturannya agar tidak terjadi kekososngan Hukum karena hukumnya belum
diatur sehingga kegiatan masyarakat yang berhibungan dengan Hukum Tanah tidak
terhambat karenanya.
Menurut Hukum Adat, jual beli tanah
adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan
damai. Kadang-kadang seorang pembeli tanah dalam pelaksanaan jual belinya belum
tentu mempunyai uang tunai sebesar harga tanah yang ditetapkan. Dalam hal yang
demikian ini berarti pada saat terjadinya jual beli, uang pembayaran dari harga
tanah utang ditetapkan belum semuanya terbayar lunas ( hanya sebagian saja).
Belum lunasnya harga tanah yang ditetapkan tersebut tidak menghalangi
pemindahan haknya atas tanah, artinya pelaksanaan jual beli tetap dinggap telah
selesai. Adapun sisa uang yang harus dibayar oleh pembeli kepada penjual
dianggap sebagai utang pembeli kepada penjual. Jadi hubungan ini merupakan
hubungan utang piutang antara penjual dan pembeli.
Dalam hukum adat, jual beli tanah
dimasukan dalam hukum benda, khususnya hukum benda tetap atau hukum tanah,
tidak dalam hukum perikatan khususnya hukum perjanjian, hal ini karena :
1. Jual beli
tanah menurut Hukum Adat bukan merupakan suatu perjanjian, sehingga tidak
diwajibkan para pihak untuk melaksanakan jual beli tersebut
2. Jual beli
tanah menurut Hukum Adat tidak menimbulkan hak dan kewajiban, yang ada hanya
pemindahan hak dan kewajiban atas tanah. Jadi apabila para pembeli baru
membayar harga tanah sebagian dan tidak membayar sisanya maka penjual tidak
dapat menuntut atas dasar terjadinya jual beli tanah tersebut.
Ciri-ciri yang menandai dari jual
beli tersebut antara lain , jual beli serentak selesai dengan tercapai
persetujuan atau persesuaian kehendak (konsesnsus) yang diikuti dengan
ikrar/pembuatan kontrak jual beli dihadapan Kepala Persekutuan hukum yang
berwenang, dibuktikan dengan pembayaran harga tanah oleh pembeli dan disambut
dengan kesediaan penjual untuk memindahkan hak miliknya kepada pembeli. Dengan
terjadinya jual beli tersebut, hak milik atas tanah telah berpindah, meskipun
formalitas balik nama belum terselesaikan. Kemudian ciri yang kedua adalah
sifatnya yang terang, berarti tidak gelap. Sifat ini ditandai dengan peranan
dari kepala persekutuan, yaitu menanggung bahwa perbuatan itu sudah cukup
tertib dan sah menurur hukumnya.
Adapun prosedur jual beli tanah itu
diawali dengan kata sepakat antara calon penjual dengan calon pembeli mengenai
objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang akan dijual dan harganya. Hal ini
dilakukan melalui musyawarah diantara mereka sendiri setelah mereka sepakat
atas harga tanah itu, biasanya sebagai tanda SSjadi, diikuti dengan pemberian
panjer.
Jual beli tanah dalam sistem Hukum
Adat mempunyai 3 muatan, yaitu:
1.
Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai sedemikian rupa dengan
hak untuk mendapatkan tanahnya kembali setelah membayar uang yang pernah
dibayarkan. Antara lain, menggadai, menjual gade, adil sende, ngejual akad atau
gade.
2.
Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran tunai tanpa hak untuk membeli
kembali, jadi menjual lepas untuk selama-lamanya. Antara lain, adol plas,
runtemurun, menjual jaja.
3.
Pemindahan hak atas tanah atas dasar pembayaran dengan perjanjian setelah
beberapa panen dan tanpa tindakan hukum tertentu tanah akan kembali (menjual tahunan, adol oyodan ).
Terjadinya hak milik atas tanah merupakan dasar
timbulnya hubungan hukum antara subyek dengan tanah sebagai obyek hak. Pada
dasarnya hak milik dapat terjadi secara original dan derivative, secara original hak milik terjadi
berdasarkan hukum adat, sedangkan secara derivative ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan. Pasal 19 Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA) mewajibkan
pendaftaran hak-hak tertentu atas tanah. Pendaftaran ini merupakan rechtskadaster
yang menjamin kepastian hukum, pemamfaatan dan keadilan termasuk
perlindungan hukum bagi pemegang hak-hak itu. Pendaftaran tanah oleh yang
berhak dapat terjadi karena berahlinya hak atas tanah dengan dasar jual beli,
hibah, tukar menukar, dan perbuatan hukum lainya yang bermaksud memindahkan hak
milik atas tanah. Dengan diterbitkanya PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah
sebagai revisi atas PP 10/1961, maka secara yuridis formalitas telah diatur
untuk pendaftaran hak dan pemberian bukti termasuk pendaftaran peralihan hak
atas tanah karena jual beli dan pemberian sertifikat atas nama
pembelinya.Walaupun secara yuridis formalnya sudah diatur, namun di luar itu
ada hal-hal yang bersifat substansial yang perlu dipahami agar ditemukan
alternativ yang dapat dipertimbangkan. Sebab suatu pemberian hak tergantung
dari kesepakatan antara penjual dan pembeli. Bila kedua belah pihak sadar akan
manfaatnya dan dapat mengatasi kendala yang mungkin dihadapi, maka tentuanya
tidak akan menimbulkan masalah-masalah baru dalam hal terjadinya jual beli
tanah. Dalam praktik jual beli tanah ada beberapa cara menempati atau memiliki
tanah disetiap lokasi Perbuatan hukum jual beli tanah berdasarkan sistem hukum
adat, yaitu dengan cara tertulis (akta dibawah tangan dilakukan dihadapan
Kepala Persekutuan hukum adat/pemerintah negeri, dihadapan Notaris/PPAT),
dengan cara lisan (kekeluargaan cukup diketahui oleh kerabat dan tetangga).
Untuk lebih memahami sebab-sebab apa alasan masyarakat yang masih menggunakan
cara lisan dan/atau dengan akta dibawah tangan dalam jual beli tanah tersebut
yaitu:
a.
Faktor Masyarakat dan Budaya yang masih tunduk pada hukum adat
b.
Tidak memerlukan waktu yang lama (Cepat) dan biaya murah
c.
Dianggap miliknya dan cara pembuktianya cukup dengan diperlihatkan:
- register
dati
- SK
pengangkatannya selaku kepala dati
- SKW
(Surat Keterangan HakWaris)
- Surat
Kuasa Menjual dari ahli waris dan saksi-saksi
d.
Dianggap sudah diketahui oleh masyarakat siapa pemiliknya.
Jual beli secara lisan atas dasar saling percaya
dilakukan oleh masyarakat karena mereka pada umumnya adalah masyarakat yang
masih memegang teguh kepercayaandan didasarkan atas dasar kekeluargaan diantara
sesama warga masyarakat. Begitu pula dengan jual beli menggunakan surat jual
beli/ atau pelepasan hak dibawah tangan. Hal ini membuktikan bahwa kekerabatan
yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu masih cukup kuat dan
melatarbelakangi rasa saling percaya oleh karena prosesnya cepat dan tidak
memerlukan waktu yang lama. Berdasarkan Pasal 5 UUPA maka jual beli tanah
setelah UUPA mempergunakan sistem dan asas-asas dalam hukum adat. Dalam
konsiderans UUPA disebutkan bahwa hukumagraria yang berlaku atas bumi, air dan
ruang angkasa ialah hukum adat dalam bentuk penuangan norma-norma hukum adat
dalam peraturan perundangundangan dan selama peraturan itu belum ada maka hukum
adat lah yang berlaku. Kenyataannya bahwa peraturan perundang-undangan yang
diadakan justru mengadakan penggantian norma-norma hukum adat yang berlaku
sebelumnya. Sebagai contoh ketentuan mengenai jual beli tanah yang semula cukup
dilakukan dihadapan pemerintah negeri/kepala
desa,
diubah menjadi dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), oleh PP. 24/1997,
pada Pasal 37 ayat (1 dan 2) menegaskan bahwa peralihan Hak atas tanah melalui
jual beli hanya dapat didaftarakan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh
PPAT. Namun dalam keadaan tertentu pendaftaran peralihan hak atas tanah yang
dibuktikan dengan akta yang tidak dibuat oleh PPAT, tetapi kadar kebenaranya
dianggap cukup untuk mendaftar pemindahan hak yang bersangkutan. Hal ini
menunjukan bahwa pendaftaran tanah dapat dilakukan dengan akta lain selain akta
autentik yang dibuat dihadapan PPAT. Jual beli tanah menurut PP No. 10 tahun
1961 yang telah disempurnakan dengan PP No. 24 tahun 1997 harus dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh seorang PPAT. Jual beli tanah yang semula cukup
dilakukan dihadapan kepala desa dan sekarang oleh peraturan agraria harus
dihadapan PPAT adalah suatu perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu alat bukti yang dilakukan
menurut hukum adat yang masyarakatnya terbatas lingkup personal dan
tertorialnya yaitu cukup dibuatkan surat oleh penjual sendiri dan diketahui
oleh pemerintah negeri/kepala desa. Perubahan tata cara ini bukan meniadakan
ketentuan hukum adat yang mengatur segi materiil lembaga jual beli tanah. Akta
autentik memuat pernyataan ringkas dan jelas tentang subjek hak dan objek hak
tertentu secara tegas.
2.4
Penyelesaian Sengketa Tanah Dalam Hukum Adat
Secara teoritis pengertian antara masyarakat hukum
dan masyarakat hukum adat berbeda. Kusuma Pujosewojo mengartikan masyarakat
hukum sebagai suatu masyarakat yang menetapkan, terikat dan tunduk pada tata
hukumnya sendiri. Sedangkan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul
secara spontan diwilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau
diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya dengan rasa
solidaritas yang lebih besar diantara sesama anggota yang memandang bukan
sebagai anggota masyarakat orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber
kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Sengketa
yang timbul diantara masyarakat hukum adat diserahkan kepada petuah atau orang
yang dituakan diantara masyarakat hukum adat tersebut, penyelesaian sengketa
masyarkat hukum adat melahirkan suatu putusan
yang ditaati dan dipatuhi oleh semua anggota masyarakat. Sengketa yang muncul
dimasyarakat sering kali disebabkan peralihan kepemilikan tanah yang dilakukan
dibawah tangan atau tidak dilakukan dihadapan pejabat negara atau pejabat
pembuat akta tanah (PPAT).
Dalam penyelesaian sengketa tanah dilingkungan
masyarakat adat tidak lepas dari campur tangan seorang kepala adat, adapun fungsi
kepala adat yang ada didalam masyarakat adalah sebagai berikut:
1. Memberikan pedoman kepada anggota masyarakat,
bilamana seharusnya bertingkah laku dalam kehidupan bermasyarakat dan merupakan
dasar dari tingkah laku tersebut adalah kebiasaan yang bersifat normatif yaitu
adat dan hukum adat.
2. Menjaga keutuhan persekutuan dalam masyarakat,
supaya persekutuan tersebut tetap terpelihara dan tidak dirusakkan oleh
berbagai tindakan anggota masyarakat yang tidak sesuai dengan adat dan hukum
adat.
3. Memberikan pegangan kepada anggota masyarakat
untuk mengadakan sistem pengendalian sosial. Pengendalian sosial tersebut lebih
bersifat pengawasan terhadap tingkah laku masyarakat sehingga hidup persekutuan
dapat dipertahankan dengan sebaik – baiknya.
4.
Memperhatikan setiap keputusan – keputusan yang telah ditetapkan dalam hukum
adat, sehingga keputusan tersebut mempunyai wibawa dan dapat memberikan
kepastian hukum
yang mengikat semua
anggota masyarakat.
5.
Merupakan tempat bersandarnya anggota masyarakat untuk menyelesaikan,
melindungi, menjamin ketentraman. Karena itu setiap ada persengketaan maka Kepala
adat adalah satu-satunya tempat anggota masyarakat bersandar untuk
menyelesaikan masalahnya.
Jika diselidiki peranan kepala adat dalam masyarakat
memang banyak yang meminta keterlibatanKepala adat untuk menyelesaikan masalah,
baik yangmenyangkut masalah hidup maupun yang berhubungan dengan kematian. Akan
tetapi yang lebih penting peranan kepala adat adalah menjaga keseimbangan
lingkungan hidup satu dengan lainnya, agar dalam masyarakat tetap tercipta
kerukunan dan kedamaian. Oleh karena itu dimana adanya gangguan keseimbangan
dalam masyarakat harus dicegah dan dipulihkan kembali, baik dengan cara
pembayaran berupa materiil maupun immaterial.
Sedangkan Soepomo dalam buku karangan beliau yang
berjudul “Bab-Bab Tentang Hukum Adat” mengatakan bahwa kepala adat senantiasa
mempunyai peranan dalam masyarakat dan peranan tersebut adalah sebagai berikut
:
1.
Kepala adat mempunyai peranan sebagai hakim perdamaian yang berhak menimbang
berat ringannya sanksi yang harus dikenakan kepada anggota masyarakat yang
bersengketa. kepala adat disini berkewajiban untuk mengusahakan perdamaian,
sehingga dalam masyarakat tercipta kedamaian.
2. Untuk membetulkan hukum adat yang telah
dilanggar oleh masyarakat. Pembetulan bermaksud mengembalikan citra hukum adat,
sehingga dapat ditegakkan keutuhannya. Misalnya bila terjadi sengketa
pertanahan sehingga hubungan menjadi rusak. Maka dalam masalah ini kepala adat
berperan untuk membetulkan keseimbangan tersebut sehingga dapat didamaikan
kembali.
3. Untuk memutuskan dan menetapkan peraturan
hukum adat sebagai landasan bagi kehidupan masyarakat.
Kepala adat yang berhak menjatuhkan sanksi terhadap
siapapun yang telah melanggar hukum adat. Maka dengan penjatuhan sanksi
tersebut yang telah dilakukan oleh kepala adat, baru dapat dikatakan sebagai
hukum adat. Peran kepala adat sangat menonjol dalam penyelesaian suatu
sengketa, khususnyaa sengketa tanah yang terjadi dalam lingkungan masyarakat
adat. Peralihan hak atas tanah dalam lingkungan masyarakat hukum adat harus
sepengetahuan kepala adat, sehingganya jika dikemudian hari terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan maka kepala adat dapat dengan mudah memutuskan
penyelesaian dari sengketa yang timbul dimasyarakatnya.
2.4.1
Mediasi
Mediasi berasal dari kata mediation yang
berarti penyelesaian sengketa dengan jalan menengahi.
1.
Menurut Moore
Mediasi
adalah intervensi terhadap suatu sengketa atau negosiasi oleh para pihak ketiga
yang dapat diterima, tidak berpihak dan netral yang tidak mempunyai kewenangan
untuk mengambil keputusan dalam membantu para pihak berselisih dalam upaya
mencapai kesepakatan secara sukarela dalam penyelesaian permasalahan yang
disengketakan.
2.
Menurut Folberg and Taylor
Mediasi
adalah suatu proses dimana para pihak dengan bantuan seseorang atau beberapa
orang secara sistematis menyelesaikan permasalahan yang disengketakan untuk
mencari alternatif dan mencapai kesepakatan penyelesaian yang dapat
mengakomodasikan tujuan mereka.
Dari pengertian di atas maka tampak bahwa pengertian
mediasi yang dikemukakan oleh Moore lebih tepat dan mengena kepada makna dari
mediasi itu sendiri sehingga yang dimaksud dengan mediasi adalah upaya
penyelesaian sengketa para pihak dengan kesepakatan bersama, melalui mediator
yang bersikap netral dan tidak membuat keputusan atau kesimpulan bagi para
pihak tetapi menunjang fasilitator untuk terlaksananya dialog antara para pihak
dengan suasana ketertiban, kejujuran. Keterbukaan dan tukar pendapat untuk
tercapainya mufakat atau dengan kata lain proses negosiasi pemecahan masalah
adalah proses dimana pihak luar tidak memihak yang bersengketa untuk membantu
mereka memperoleh kesepakatan perjanjian secara memuaskan.
Dari definisi tersebut dapat ditentukan unsur-unsur
mediasi sebagai berikut:
1.
Penyelesaian sengketa suka rela
2.
Intervensi atau bantuan
3.
Pihak ketiga tidak berpihak
4.
Pengambilan keputusan oleh pihak-pihak secara consensus.
5.
Partisipasi aktif
Pada awal mediasi, mediator memberitahukan kepada
para pihak tentang sifat dan proses. Menetapkan aturan-aturan dasar,
mengembangkan hubungan baik dengan para pihak dan memperoleh kepercayaan
sebagai pihak netral dan merundingkan kewenangan dengan para pihak. Ini
disebabkan karena para pihak yang bersengketa masingmasing memiliki sudut
pandang yang berbeda dengan pihak lain. Jika para pihak meminta seorang
mediator membantu mereka, maka mereka harus memiliki beberapa tingkat pengakuan
yang mereka tidak mampu menyelesaikan dengan cara mereka sendiri dan bahwa
intervensi pihak ketiga mungkin berguna.
Mediator
hanya sebagai pendengar yang aktif dengan tujuan memperoleh pemahaman
yang jelas dari prespektif dan posisi para pihak pada tahap pengambilan
penyelesaian, mediator bekerja dengan para pihak untuk membantu mereka memilih
penyelesaian yang sama-sama disetujui dan diterima. Mediator dapat membantu
para pihak untuk memperoleh basis yang adil dan memuaskan mereka dan membantu
meyakinkan bahwa kesepakatan mereka adalah yang terbaik, mediator membuat
syarat-syarat perjanjian seefisien mungkin, agar para pihak tidak ada yang
merasa dirugikan.
BAB
III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Sistem
jual beli tanah tradisional yang sering dilakukan diIndonesia adalah dengan
cara jual beli secara lisan atas dasar saling percaya,
hal ini dilakukan oleh masyarakat karena mereka pada umumnya adalah masyarakat
yang masih memegang teguh kepercayaan dan didasarkan atas dasar kekeluargaan
diantara sesama warga masyarakat. Begitu pula dengan jual beli menggunakan
surat jual beli/ atau pelepasan hak dibawah tangan. Hal ini membuktikan bahwa
kekerabatan yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu masih cukup kuat
dan melatarbelakangi rasa saling percaya oleh karena prosesnya cepat dan tidak
memerlukan waktu yang lama. Berdasarkan Pasal 5 UUPA maka jual beli tanah
setelah UUPA mempergunakan sistem dan asas-asas dalam hukum adat, UUPA
diterbitkan pada tahun 1960 jauh dari itu masyarakat sudah menggunakan sistem
jual beli atau sistem peralihan hak atas tanah yang berasaskan hukum adat, hal
ini dinilai lebih efektif dan efisien dalam hal pelaksanaannya. UUPA menghargai
keberadaan hukum adat dengan cara menyelaraskan dengan asas-asas yang telah
dipegang teguh oleh masyarakat sejak dahulu, akan tetapi perspektif hukum agraria terhadap
sistem jual beli konvensional harus didaftarkan kepemerintah untuk mendapatkan
keabsahan dari kepemilikan suatu tanah,
agar tidak menimbulkan konflik antar masyarakat.
3.2 Saran
Pelaksanaan
sistem jual beli konvensional seharusnya lebih digaungkan ke masyarakat luas,
agar nantinya pengurusan peralihan hak atas tanah tidak berlarut-larut dan
tidak membutuhkan biaya yang cukup besar.
1 comment